IBARAT tim sepak bola, Arsid—bersama Andre Taulany--cukup patuh dalam menerapkan strategi fenomenal catenaccio, sebuah sistem pertahanan total. Ia tak melakukan serangan-serangan yang percuma. Dalam catenaccio, yang penting bukanlah kemenangan, tapi bagaimana menjadi tak terkalahkan. Kuncinya hanya satu; “merapatkan barisan” agar pihak lawan tidak bisa masuk daerah pertahanan. Sebuah strategi yang diterapkan pelatih Italia Enzo Bearzot dalam Piala Dunia Spanyol 1982 hingga mengantarkan tim Paulo Rossi dan kawan-kawan itu menjadi juara dunia untuk ketiga kalinya.
Siapa pun tahu, sejak awal persiapan pilkada Kota Tangerang Selatan, Arsid, bersama dua pasangan lainnya, tidaklah diunggulkan. Komposisi latar belakang “lapisan pendukung” maupun hasil beraneka macam survei—yang menjadi dasar perhitungan-- memang dapat membuat pendukung Arsid jadi patah arang. Meski diam-diam kita tahu, survei, yang kadang dilengkapi “kata” tertentu, sesungguhnya telah menjadi hal biasa saat kampanye untuk menjepit, atau menjerat, posisi lawan—namun tak selamanya berhasil. Toh terbukti, perhitungan politik—seperti juga saat memprediksi hasil pertandingan sepak bola—bisa jauh panggang dari api.
Jauh-jauh hari, serangan “kata” atau “stigma” memang telah diterima Arsid, dan saya rasa tak perlu (kembali) dituliskan di sini. Pada zaman Yunani Kuno, stigma digunakan sebagai tanda yang diterakan dengan luka bakar atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak, atau pengkhianat. Dengan cap yang melekat itu, stigma akan menandai orang yang tak diinginkan. Stigmatisasi terjadi bersama penyingkiran. Pada zaman ini, stigma hanya jadi metaphor: berbentuk bunyi, penanda yang dikumandangkan melalui bahasa. Sebagai bagian dari bahasa, ia masuk ke kepala dan hati orang ramai, membentuk persepsi dan bahkan sikap dan laku mereka.
Menurut Pierre Bourdie, dalam Language and Simbolic Power (1990), bahasa dan simbol memang tidak dapat dilepaskan dari relasi kekuasaan. Artinya, ia dapat digunakan sedemikian rupa sebagai alat untuk “mempertahankan kekuasaan” serta untuk “melakukan kekuasaan”. Simbol dapat menjadi alat ofensif sekaligus defensif. Ketika bahasa dan simbol dijadikan sebagai alat defensif pelanggengan kekuasaan, dengan memanipulasi tanda dan simbol sehingga menimbulkan distorsi makna, maka bahasa pun kemudian menjadi alat “kekuasaan simbol”.
Bahasa akan memuat semua tanda, istilah, konsep, maupun label-label yang pantas atau tak pantas terhadap subyek yang dituju. Bahasa, dengan demikian, di dalamnya akan mengandung prasangka-prasangka, dan kemudian pembedaan, yang umumnya cenderung melibatkan gagasan bahwa salah satu pihak mempunyai kedudukan yang lebih dan berhak menguasai yang lainnya. Sebab itu kata sebagai stigma dapat berkembang dalam pusaran kesadaran kita bagai racun, yang bisa begitu mudahnya melahirkan paranoia: politik sebagai ajang kebencian dan intoleransi, dengan bahasa sebagai arus yang tak henti-hentinya memelesetkan makna.
Namun seperti yang saya katakan di awal, untung saja Arsyid menerapkan strategi catenaccio: bertahan, dan terus “merapatkan barisan” agar pihak lawan tidak bisa masuk daerah pertahanan. Pada akhirnya ia berhasil; setidaknya untuk mengimbangi kekuatan yang dinilai orang (sangat) tidak seimbang. Namun bagi saya, yang menarik adalah substansi yang telah dicapai Arsid dan timnya setelah penghitungan suara, khususnya pada keputusan ketika hasil pilkada terpaksa harus dibawa ke ruang sidang Mahkamah Konstitusi.
Dengan melakukan hal itu, menurut saya, setidaknya ada dua hal yang secara substansial telah dicapai Arsid. Pertama; Norma Berdemokrasi. Dengan memilih berjuang melalui jalur MK, maka Arsid (sesungguhnya) telah menunjukkan--juga mengajarkan—mekanisme penyelesaian perbedaan pandangan yang elegan, juga patut, dalam tataran demokrasi. Saya rasa Arsid dan tim layak dihormati atas sikapnya yang sedikit pun tidak tergoda menggunakan falsafah “rawe-rawe rantas malang-malang putung”—yang seringkali dipakai secara ekstrem oleh elite politik yang tidak siap kalah dalam ajang pilkada di Indonesia.
Di situlah Arsid telah mencapai titik tersulit dalam pemahaman demokrasi; yakni berdemokrasi dengan keikhlasan. Kedua; Norma Intelektual. Substansi gugatan ke MK—terlepas dari hasil siapa yang menang dan siapa yang kalah--selain untuk mengkritisi pemerintah, juga mengingatkan kita tentang pentingnya membangun ruang-ruang demokrasi bagi tiap manusia—secara pribadi-individual atau pun kelompok—untuk “memberadakan diri” dalam menghadapi hidup yang wajar dan adil.
Artinya, apa yang dilakukan Arsid bersama tim sebenarnya telah masuk pada area, atau setidaknya menjadi tugas, kalangan intelektual. Seperti dikemukakan Naom Chomsky dalam Languange and Politics (1988), kaum intelektual seharusnya berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Intelektual tidak boleh netral atau bebas nilai; mereka harus berpihak kepada kelompok lemah yang tidak terwakili. Intelektual, kata Chomsky, harus peka terhadap nasib mereka yang tertindas serta menempatkan diri sejajar dengan kaum yang tersisihkan.
Jangan lupa, demokrasi adalah sebuah tata kekuasaan yang terbuka untuk mengakui kekhilafannya—dan itu sering sama artinya dengan kesabaran. Arsid tampaknya cukup memahami semangat watawa shaubil haqqi; saling menasihati dalam kebenaran, juga watawa shaubis-sabr; saling menasihati dalam kesabaran.
Dan saya hanya bisa mengatakan, Saudara Arsid, banyak warga kota ini mengandalkan Anda, tapi, ingatlah sepotong sajak Rendra ini:
…..
kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita
…..
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 4 Februari 2011
Source :
CATATAN UNTUK ARSID (2)
Download :
http://docs.com/AFUK
No comments:
Post a Comment