Showing posts with label becak. Show all posts
Showing posts with label becak. Show all posts

Sunday, September 5, 2010

Mengayuh Sejarah Becak

http://multiply.com/gi/sudarjanto:journal:15937
Rabu, 23 Juni 2010 - 16:34:31 WIB

Keberadannya hendak dihapuskan dalam sejarah. Alasannya: tak manusiawi dan jadi biang kemacetan.

SEJARAH tak pernah bisa membunuh becak. Dari zaman Belanda hingga pemerintah Orde Baru, upaya menghapus becak tak pernah berhasil. Becak masih saja terlihat, bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta –sekalipun harus melaju di gang-gang sempit dengan risiko kena razia. Para abang tukang becak harus bertahan hidup dan mencari nafkah demi istri dan anak di rumah.

Becak adalah bentuk kesetiaan seorang suami pada istrinya, mirip sejarah di balik penemuan kendaraan sederhana ini. Suatu hari, pada 1865, saat berjalan-jalan menikmati pemandangan kota Yokohama, Jepang, Jonathan Goble, seorang misionaris Amerika, berpikir membuat kendaraan untuk istrinya yang lumpuh, Eliza Weeks. Dia pun mulai menggambar kereta kecil tanpa atap di atas secarik kertas. Rancangan tersebut ia kirimkan kepada sahabatnya, Frank Pollay. Pollay membuatnya sesuai rancangan Goble lalu membawanya ke seorang pandai besi bernama Obadiah Wheeler. Jadilah becak.

Becak tersebut oleh orang-orang Jepang disebut jinrikisha (kendaraan yang ditarik tenaga manusia). Keberadaan jinrikisha menarik perhatian para bangsawan. Jinrikisha kemudian identik dengan kendaraan para bangsawan. Sejak 1870, pemerintah Jepang memberikan lisensi kepada tiga orang Jepang: Izumi Yosuke, Suzuki Tokujiro, dan Takayama Kosuke untuk membuat jinrikisha. Dua tahun kemudian sekira 40.000 jinrikisha memenuhi jalanan di Tokyo, dan menjadikannya alat transportasi populer di Jepang.

Popularitas becak menyeberang ke kota-kota di daratan China, melintasi Asia Selatan (India), menyapu seluruh Asia Tenggara, bahkan hingga ke Afrika Selatan. Para imigran China membawa alat transportasi ini ke negara-negara tujuan seperti India dan Singapura. Dalam perkembangannya becak tak lagi dioperasikan dengan cara ditarik melainkan dikayuh (cycle-rickshaw).

Sama seperti awal mula becak, tak jelas juga kapan becak dikenal di Indonesia. Lea Jellanik dalam Seperti Roda Berputar, menulis becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong pada 1930-an. Jawa Shimbun terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia akhir 1930-an. Ini diperkuat dengan catatan perjalanan seorang wartawan Jepang ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Makassar. Dalam catatan berjudul “Pen to Kamera” terbitan 1937 itu disebutkan, becak ditemukan orang Jepang yang tinggal di Makassar, bernama Seiko-san yang memiliki toko sepeda. Karena penjualan seret, pemiliknya memutar otak agar tumpukan sepeda yang tak terjual bisa dikurangi. Dia membuat kendaraan roda tiga, dan terciptalah becak.

Menurut majalah Star Weekly tahun 1960, bentuk becak di Indonesia berasal dari Tiongkok. Kata becak (betjak) juga berasal dari Tiongkok, bee (kuda) dan tja (gerobak) atau berarti kuda gerobak. Masuk ke Indonesia kali pertama awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa mengangkut barang. Pada 1937, demikian tertulis dalam Star Weekly, becak dikenal dengan nama “roda tiga”. Sebutan betjak/betja/beetja baru digunakan pada 1940 ketika becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum.

Menurut Tim Hannigan dalam “Beguiled by Becak”, yang dimuat www.kabarmag.com, becak yang membawa penumpang memenuhi jalan-jalan di Batavia baru terlihat pada 1936. Sebelumnya ada kendaraan roda tiga (tricycles) yang dipakai untuk mengangkut barang selama bertahun-tahun.

Berbeda dengan becak di Jepang (jinrikisha) dan Cina (angkong) yang beroda dua dengan menggunakan ban mati, becak versi Indonesia lebih modern. Rodanya tiga dan menggunakan ban angin. Menjalankannya dikayuh dengan dua kaki dari belakang tempat penumpang.

Awalnya pemerintah kolonial Belanda merasa senang dengan transportasi baru ini. Namun belakangan pemerintah melarang keberadaan becak karena jumlahnya terus bertambah, membahayakan keselamatan penumpang, dan menimbulkan kemacetan.

Jumlah becak justru meningkat pesat ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942. Kontrol Jepang yang sangat ketat terhadap penggunaan bensin serta larangan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadikan becak sebagai satu-satunya alternatif terbaik moda transportasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Bahkan penguasa membentuk dan memobilisasi kelompok-kelompok, termasuk tukang becak, demi kepentingan perang melalui pusat pelatihan pemuda, yang mengajarkan konsep politik dan teknik organisasi.

Pasca perang, ketika jalur dan moda transportasi kian berkembang, becak tetap bertahan. Bahkan ia menjadi transportasi yang menyebar hampir di seluruh Indonesia. Pada pertengahan hingga akhir 1950-an ada sekira 25.000 hingga 30.000 becak di Jakarta. Jumlah becak membengkak hingga lima kali lipat pada 1970-an.

Pemerintah yang sedang gencar melakukan pembangunan, terutama Jakarta, merasa gelisah. Becak dianggap sebagai gambaran keterbelakangan Indonesia. Kuno dan memalukan. Mulailah pemerintah mencari cara menghambat laju becak. Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan aturan mengenai larangan total angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, dan mengadakan razia mendadak di daerah bebas becak. Ia juga yang menentukan batas waktu Jakarta bebas becak pada 1979. Ironisnya, pada 1966 jumlah becak ada 160 ribu –jumlah tertinggi dalam sejarah.

Kebijakan serupa dilanjutkan oleh gubernur-gubernur berikutnya: Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, Suprapto, dan Sutiyoso. Becak dianggap biang kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan alat angkut yang tak manusiawi. Di sisi lain, becak juga mulai menghadapi pesaing dengan kehadiran ojek motor, mikrolet, dan metromini. Pada 1980, misalnya, pemerintah mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000 becak. Pemerintah ketika itu memprogramkan para tukang becak beralih profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu. Bahkan pemerintah menggaruk becak dan membuangnya ke Teluk Jakarta untuk rumpon, semacam rumah ikan. Karena sulit, Gubernur Suprapto sampai bilang: “becak-becak akan punah secara alamiah.”

Tapi alam tak memunahkannya. Kita juga tak perlu menyelam ke laut untuk melihat becak. Becak tak benar-benar tergusur maupun tergerus arus modernisasi. Ia justru mengalami evolusi, selain variannya yang unik di tiap daerah. Di Gorontalo, ada yang namanya bento, becak yang diberi kendaraan bermotor di belakangnya. Di sejumlah kota di Sumatra, sepeda motor diposisikan di samping. Di luar negeri, becak lebih futuristik yang diberi nama velotaxi. Becak bertahan di jalan-jalan sempit di Jakarta dan di jalanan kota-kota lain di Indonesia, meski kini harus bersaing dengan ojek yang jumlahnya kian bertambah. [JAY AKBAR]

Velotaxis Kendaraan Anti Polusi, Kapan Ada di Indonesia?

Velotaxis
Sebuah Nama Kendaraan Baru Di Jepang


Velotaxis mungkin di Indonesia di kenal dengan nama becak, Velotaxis sebenarnya sudah di kenal di Jerman sejak 12 tahun yang lalu yang sekarang ini di pergunakan Jepang sebagai alat transportasi alternatif.


Velotaxis selain menggunakan tenaga manusia juga menggunakan sebuah motor yang dapat mencapai kecepatan 11 Kph yang bisa digunakan untuk mengangkut penumpang di pusat kota, tepat wisata.



Untuk menyewa Velotaxis dikenalkan tarif 300 yen.
Mmm... mungkin saja nanti Jepang juga akan mengimport becak asal Indonesia dan sekaligus penarik becaknya...

www.lautanindonesia.com


Becak Vs Velotaxi


| Tribun Jabar Online ::.

Velotaxi – Inilah Velotaxi, alat transportasi umum sejenis becak (dikayuh pakai tenaga manausia) yang pertama kali dikembangkan di Berlin Jerman belum lama ini. Alat transportasi umum bebas polusi ini ternyata menarik minat banyak kota besar di dunia. Foto pada gambar di atas diambil di kawasan turis, dekat Museum Van Gogh, Amsterdam, Belanda.

JIKA di akhir tahun 1980, Pemerintah Daerah DKI Jakarta menghapus keberadaan becak, maka sekitar 20 dekade kemudian dunia digemparkan oleh tren baru yang disebar dari Berlin, Jerman. Tren itu berupa alat transportasi umum bebas polusi bertenaga manusia-dikayuh-dan diberi nama "Velotaxi".

Sepintas tampak depan, bentuk kendaraan ini seperti bajaj. Bentuk kendaraan roda tiga ini secara keseluruhan sangat futuristik, bisa diisi oleh dua penumpang dewasa, tanpa pintu dan jendela karena didesain terbuka di sisi kiri dan kanan. Ada motor elektrik untuk membantu pengendara melintas di jalan menanjak.

Setelah diperkenalkan di Berlin, ternyata kota-kota besar lain di Jerman dan Eropa lainnya, bahkan Jepang, juga tertarik. Duesseldorf, Vienna, hingga Kyoto langsung tertarik pada konsep Velotaxi yang ramah lingkungan. Kini tak hanya kota-kota di Jerman mempunyai Velotaxi, tapi juga di kota-kota lain di Eropa bahkan Jepang. Dimulai oleh Kyoto di tahun 2002, kemudian berlanjut ke Tokyo, Osaka, hingga ke Fukuoka di tahun 2006. Fukuoka menjadi kota ke-15 di Jepang yang memberlakukan Velotaxi.

Pada perkembangannya, turis pun tertarik pada kendaraan yang dioperasikan oleh Velotaxi GmBH, maka kendaraan ini pun jadi andalan di musim libur seperti pada musim panas. Bagi kota-kota di negara maju itu, kendaraan ini menjadikan mereka lebih pede menyebut diri sebagai kota metropolitan, kota yang ramah pada lingkungan. Bagi dunia periklanan, Velotaxi merupakan media iklan yang efektif. Di Berlin, bahkan produk sebesar Esprit atau pusat belanja C&A pun beriklan di Velotaxi.

Bagi penduduk China, Bangladesh, Malaysia, Hongkong, Jepang, bahkan penduduk Indonesia, tentu becak modern itu tak lagi asing. Kota-kota di negeri Asia sudah terbiasa dengan becak dalam berbagai bentuk. Semula, becak beroda dua ditarik oleh orang (rickshaw), lalu berkembang dengan menambahkan satu lagi roda dan dikayuh. Yang lumayan menggelikan barang kali bahwa Jepang sudah mengenal rickshaw sejak abad ke-19, tetapi kini malah mengambil rickshaw ala Jerman.

Bagaimanapun, keberadaan alat transportasi umum bertenaga manusia ini masih dipertahankan di banyak negara, termasuk Malaka, Malaysia. Untuk apa? Untuk mengangkut turis, tentu saja. Salah satu alasan penghapusan becak di Jakarta sebagai alat angkut yang tidak manusiawi barangkali perlu dipikir ulang, apakah lebih manusiawi sekarang ini dengan ribuan motor, mobil, bus yang menghasilkan asap hitam dan makin hari semua kendaraan itu menutup hampir di semua pelosok jalan di Jakarta dan sekitarnya?

Dari catatan majalah Star Weekly tahun 1960 yang jadi salah satu koleksi Museum Sejarah Jakarta, disebutkan, sejak tahun 1960, becak dianggap tidak cocok lagi dengan lalu lintas modern dan bertentangan dengan pendirian masyarakat kala itu. Padahal, kenyataannya, becak sungguh diperlukan warga karena bisa masuk ke pelosok.

Bentuk becak yang kita kenal berasal dari Tiongkok dan kata becak (betjak) juga berasal dari Tiongkok, bee (kuda) dan tja (gerobak) atau berarti kuda gerobak. Masuk ke Indonesia pertama kali pada awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa mengangkut barang. Di tahun 1937, demikian tertulis dalam Star Weekly, becak dikenal dengan nama "roda tiga" dan kata betjak/betja/beetja baru digunakan pada 1940 ketika becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum.

Dalam data lain disebutkan, Lea Jellinek, antropolog Australia, menyebutkan bahwa hingga akhir tahun 1950, becak di Jakarta berjumlah sekitar 30.000 unit dan pada awal 1970 jumlah ini berlipat lima kali lipat. Bemo yang mulai dikenal pada 1960-an dan helicak di tahun 1970-an lambat laun kembali membuat becak dianggap sebagai kendaraan kuno, terbelakang, tak modern, dan memalukan. Hingga akhirnya becak pun dirumponkan di Teluk Jakarta.

Ternyata, kendaraan yang dinilai memalukan, terbelakang, dan kuno ini tetap dipertahankan di banyak kota di negara maju yang selalu mengupayakan kendaraan ramah lingkungan. Jika tak bisa beroperasi di jalan protokol, setidaknya becak bisa kembali dihidupkan dalam rangka mempromosikan wisata di Jakarta, wisata tentang sejarah Jakarta, termasuk sejarah becak. Enjoy Jakarta, Enjoy Our Becak. (WARTA KOTA/Pradaningrum Mijarto)