Sunday, September 5, 2010

Becak Vs Velotaxi


| Tribun Jabar Online ::.

Velotaxi – Inilah Velotaxi, alat transportasi umum sejenis becak (dikayuh pakai tenaga manausia) yang pertama kali dikembangkan di Berlin Jerman belum lama ini. Alat transportasi umum bebas polusi ini ternyata menarik minat banyak kota besar di dunia. Foto pada gambar di atas diambil di kawasan turis, dekat Museum Van Gogh, Amsterdam, Belanda.

JIKA di akhir tahun 1980, Pemerintah Daerah DKI Jakarta menghapus keberadaan becak, maka sekitar 20 dekade kemudian dunia digemparkan oleh tren baru yang disebar dari Berlin, Jerman. Tren itu berupa alat transportasi umum bebas polusi bertenaga manusia-dikayuh-dan diberi nama "Velotaxi".

Sepintas tampak depan, bentuk kendaraan ini seperti bajaj. Bentuk kendaraan roda tiga ini secara keseluruhan sangat futuristik, bisa diisi oleh dua penumpang dewasa, tanpa pintu dan jendela karena didesain terbuka di sisi kiri dan kanan. Ada motor elektrik untuk membantu pengendara melintas di jalan menanjak.

Setelah diperkenalkan di Berlin, ternyata kota-kota besar lain di Jerman dan Eropa lainnya, bahkan Jepang, juga tertarik. Duesseldorf, Vienna, hingga Kyoto langsung tertarik pada konsep Velotaxi yang ramah lingkungan. Kini tak hanya kota-kota di Jerman mempunyai Velotaxi, tapi juga di kota-kota lain di Eropa bahkan Jepang. Dimulai oleh Kyoto di tahun 2002, kemudian berlanjut ke Tokyo, Osaka, hingga ke Fukuoka di tahun 2006. Fukuoka menjadi kota ke-15 di Jepang yang memberlakukan Velotaxi.

Pada perkembangannya, turis pun tertarik pada kendaraan yang dioperasikan oleh Velotaxi GmBH, maka kendaraan ini pun jadi andalan di musim libur seperti pada musim panas. Bagi kota-kota di negara maju itu, kendaraan ini menjadikan mereka lebih pede menyebut diri sebagai kota metropolitan, kota yang ramah pada lingkungan. Bagi dunia periklanan, Velotaxi merupakan media iklan yang efektif. Di Berlin, bahkan produk sebesar Esprit atau pusat belanja C&A pun beriklan di Velotaxi.

Bagi penduduk China, Bangladesh, Malaysia, Hongkong, Jepang, bahkan penduduk Indonesia, tentu becak modern itu tak lagi asing. Kota-kota di negeri Asia sudah terbiasa dengan becak dalam berbagai bentuk. Semula, becak beroda dua ditarik oleh orang (rickshaw), lalu berkembang dengan menambahkan satu lagi roda dan dikayuh. Yang lumayan menggelikan barang kali bahwa Jepang sudah mengenal rickshaw sejak abad ke-19, tetapi kini malah mengambil rickshaw ala Jerman.

Bagaimanapun, keberadaan alat transportasi umum bertenaga manusia ini masih dipertahankan di banyak negara, termasuk Malaka, Malaysia. Untuk apa? Untuk mengangkut turis, tentu saja. Salah satu alasan penghapusan becak di Jakarta sebagai alat angkut yang tidak manusiawi barangkali perlu dipikir ulang, apakah lebih manusiawi sekarang ini dengan ribuan motor, mobil, bus yang menghasilkan asap hitam dan makin hari semua kendaraan itu menutup hampir di semua pelosok jalan di Jakarta dan sekitarnya?

Dari catatan majalah Star Weekly tahun 1960 yang jadi salah satu koleksi Museum Sejarah Jakarta, disebutkan, sejak tahun 1960, becak dianggap tidak cocok lagi dengan lalu lintas modern dan bertentangan dengan pendirian masyarakat kala itu. Padahal, kenyataannya, becak sungguh diperlukan warga karena bisa masuk ke pelosok.

Bentuk becak yang kita kenal berasal dari Tiongkok dan kata becak (betjak) juga berasal dari Tiongkok, bee (kuda) dan tja (gerobak) atau berarti kuda gerobak. Masuk ke Indonesia pertama kali pada awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa mengangkut barang. Di tahun 1937, demikian tertulis dalam Star Weekly, becak dikenal dengan nama "roda tiga" dan kata betjak/betja/beetja baru digunakan pada 1940 ketika becak mulai digunakan sebagai kendaraan umum.

Dalam data lain disebutkan, Lea Jellinek, antropolog Australia, menyebutkan bahwa hingga akhir tahun 1950, becak di Jakarta berjumlah sekitar 30.000 unit dan pada awal 1970 jumlah ini berlipat lima kali lipat. Bemo yang mulai dikenal pada 1960-an dan helicak di tahun 1970-an lambat laun kembali membuat becak dianggap sebagai kendaraan kuno, terbelakang, tak modern, dan memalukan. Hingga akhirnya becak pun dirumponkan di Teluk Jakarta.

Ternyata, kendaraan yang dinilai memalukan, terbelakang, dan kuno ini tetap dipertahankan di banyak kota di negara maju yang selalu mengupayakan kendaraan ramah lingkungan. Jika tak bisa beroperasi di jalan protokol, setidaknya becak bisa kembali dihidupkan dalam rangka mempromosikan wisata di Jakarta, wisata tentang sejarah Jakarta, termasuk sejarah becak. Enjoy Jakarta, Enjoy Our Becak. (WARTA KOTA/Pradaningrum Mijarto)

No comments:

Post a Comment